Laman

Minggu, 09 Maret 2008

Memoriam in 2007

Awal Sejarah

Di tahun 2007 ini begitu banyak kepahitan yang aku alami, sengaja aku menulis cerita nyata ini agar seluruh dunia tahu kisah dukaku ini.

Sudah lama sekali aku suka ngumpul-ngumpul dengan kawan-kawan kuliahku, kurang lebih 2 tahun kami selalu bersama dapat dikatan suka dan duka selalu kami hadapi, seperti biasanya ruang kuliah kami terkenal dengan sifat kekeluargaan serta keakraban diantara setiap kawan, keakraban ini dapat dirasakan dan dicium oleh setiap kawan baru yang ikut bergabung diruang kuliah kami, entah itu untuk mengambil mata kuliah yang tertinggal saja ataupun untuk bergabung selamanya. Tak heran keakraban antara kawan satu dengan kawan yang lainya ini dapat membuat iri masyarakat diruang lain, bahkan keakraban dan sifat kekeluargaan kami tercium hingga ke fakultas dan dosen-dosen yang ada.

Selain suasana yang hangat ruang kuliah kamipun dihuni oleh orang-orang yang dapat dikatakan “Pandai” hal ini ada karena sekitar 90% dari anggota ruang adalah orang-orang yang aktif di Organisasi baik ekstra maupun intra kampus.

Suatu saat tanpa disadari kerukunan yang ada harus terpecah, hal ini disinyalir karena ego diantara kawan-kawan yang mulai muncul, kawan-kawan mulai saling panas karena beda pendapat baik dalam diskusi maupun perbedaan organisasi ekstra. Perpecahan harus meletus dan tidak dapat dipertahankan lagi ketika salah satu kawan kami memutuskan untuk berhenti kuliah dan pulang kekampung halamannya lantaran tidak tahan oleh kelakuan kawan-kawan lain yang selalu mengucilkannya.

Ema fitriana, nama gadis tersebut yang memiliki sahabat karib yaitu Amaliah dan Siti Munawarah merasa tak tahan lagi diperlakukan sebelah mata oleh kawan-kawan yang lain apalagi dalam diskusi maupun kelompok kerja mereka selalu menjadi orang yang pendiam hal inilah faktor penyebab sehingga mereka dikucilkan.

Suatu saat seorang dosen membagi kami dalam beberapa kelompok belajar yang telah disepakati bersama dengan dosen tersebut, namun ternyata dibelakang ada kawan-kawan yang tidak mahu menerima keputusan ini sehingga mereka menarik kawan-kawan dari kelompok lain untuk membuat kelompok baru, inilah awal kehancuran sifat kekeluargaan yang coba dipertahankan namun ternyata harus kandas yang berimbas untuk Ema.

Aku tetap menerima kelompok yang telah ditetapkan dan aku memberikan kebebasan bagi kawan-kawan yang mahu pindah kelompok ataupun tetap ikut bersama kelompokku, wajarlah aku adalah ketua kelompoknya bagiku “Tiga orangpun jadi” Kelompokku yang aku kira akan berkurang personelnya karena kebijakan memberikan kebebasan untuk pindah ternyata salah besar hanya dua orang yang pindah dari kelompokku akan tetapi yang ingin bergabung bersamaku sangat banyak bahkan dapat dikatakan “Kelompok kerja yang paling banyak personelnya dibanding dengan kelompok yang lain”.

Tak terkecuali Amaliah dan Siti Munawarah, aku menarik dan mengizinkan mereka untuk bergabung dikelompokku hal ini karena aku berempati kepada mereka yang tidak satu kelompokpun mahu menerima keberadaan mereka, maklumlah karena kami akan melakukan suatu penelitian di sekolah-sekolah baik negeri maupun suasta.

Alhasil kelompokku mendapatkan predikat yang terbaik dan nilai tertinggi karena keakuratan data serta presentasi penelitian yang dapat aku pertahankan. Terima kasih kawan-kawan.

Dari teman sekamar Ema aku mengetahui ihwal berhentinya Ema dari bangku kuliah, mendengar semuanya maka aku segera memberitahukan hal ini kepada kawan-kawan lain yang aku anggap percaya (Agus, Edi, Sodikin, Dani, Baha) ternyata gayung bersambut mereka mempercayaiku dan segera menghubungi Amaliah dan Siti Munawarah untuk membicarakan ihwal kebenaran dan sekaligus rencana silaturrahim ke kediaman Ema di Kab. Kutai Kartanegara sekitar 2 Jam perjalanan dari Samarinda menggunakan sepeda motor dengan kecepatan 60 km/jam.

Secara tidak disadari telah teradi pengkotak-kotakan suasana diruang kuliah kami, lebih-lebih aku dan kawan-kawanku (Edi, Sodikin, Agus, Dani, Baha) mulai sering ngumpul bersama sehingga yang tercetuslah istilah 6 bersaudara yang tak jelas berasal darimana yang mungkin masih segar dalam ingatanku istilah itu berasal dari Agus.

Kamipun tetap tidak pernah menutup diri untuk berteman dengan kawan-kawan yang lain dan tak lama berselang Suriyanto (kece) akhirnya bergabung dan namapun berubah menjadi 7 bersaudara atau 7 brothers, juga dalam hitungan 1 bulan akhirnya Amaliah dan Siti Munawarah ikut bergabung dan resmi dengan nama 9 Brosist (Brother & Sister) lagi-lagi istilah ini aku gak tahu darimana munculnya dan aku hanya sebagai penyambung kata.

Keakraban kami ber-9 ternyata tidak sepenuhnya di anggap positif oleh kawan-kawan yang lain bahkan diantara mereka ada yang berupaya menjatuhkan kredibilitas kami didepan kawan-kawan kami yang lain maupun dosen. Suatu saat kami harus jatuh dan dikucilkan oleh sebahagian dosen dari berbagai fakultas yang ada. Baik itu dosen yang kami anggap cukup bijak maupun dari dosen yang tidak mengenal kami sekalipun ikut menganggap kami miring. Hingga kasus kami harus di rapatkan oleh para dosen fakultas apalagi kejadian ini sangat dekat sekali ketiaka akan dilaksanakannya ujian semester.

Sebenarnya kami tidak tahu menahu perbuatan apa yang telah kami lakukan sehingga di anggap merupakan suatu penyimpangan perilaku bagi para dosen. Dengan kejadian ini timbul perasaan dihatiku suatu ke khawatiran yang cukup dalam, aku tidak mengkhawatirkan diriku apabilanya tidak lulus dalam berbagai mata kuliah akan tetapi yang aku khawatirkan adalah dari kejadian ini dapat membuat persahabatan kami retak dan renggang maklumlah sudah menjadi sifat dari pribadiku untuk menjaga dan menyayangi sahabat-sahabatku melebihi apapun.

Aku melihat dari wajah-wajah sahabatku tak tampak lagi keceriaan seperti hari-hari biasanya yang tampak hanyalah wajah pucat dan bingung serta sedih, kami yang biasanya saling menghibur seolah-olah diam dan tidak dapat berbuat apa-apa atas masalah yang tidak jelas duduk perkaranya ini.

Sementara aku tidak terlalu memikirkan akan masalah yang kami hadapi ini, yang ada dalam benak dan fikiranku sekarang adalah bagaimana caranya agar aku tetap bisa menghibur sahabat-sahabatku yang memang sangat membutuhkan dorongan. Beberapa kali aku mengirimkan sms motivasi kepada sahabat-sahabatku lebih-lebih lagi kepada Muhammad Baha Uddin (Baha) karena diantara kami ber 9 aku mengenalnya sebagai sahabat yang pendiam dan selalu memendam perasaan sehingga aku takut sekali suatu saat dia tidak akan kuat dan memutuskan untuk bubar.

Akhirnya prediksiku benar, bahwa kami ber-9 lulus mata kuliah namun dengan bersyarat yaitu mengikuti ujian HER atau ulangan. Kami lambat-laun dapat menerima kenyataan bahwa kami merupakan mahasiswa yang dikucilkan baik dari sebahagian dosen maupun dari sebahagian mahasiswa yang tidak senang dengan keakraban kami.

Semua prosedur kami lalui dengan sungguh-sungguh dan tanggung jawab sehingga kami semua akhirnya lulus dengan nilai yang cukup lumayan.

Setelah kami dinyatakan lulus ujian, kami berusaha untuk mengangkat nama baik persahabatan kami lagi yaitu dengan menanyakan secara langsung hal apa saja yang telah kami lakukan sehingga tak berkenan dan dianggap sebagai bagian dari penyimpangan perilaku mahasiswa, berbagai upaya kami lakukan tak terkecuali mendatangi rumah dosen yang bersangkutan, sehingga kami dapat mengetahui permasalahan yang sesungguhnya.

Perjuangan kami akhirnya membuahkan hasil, salah seorang dosen mengakui bahwa kami sebenarnya tidak memiliki kesalahan apapun dan setelah diadakan rapat antara dosen ternyata para dosenpun tidak dapat memastikan penyimpangan apa yang telah kami perbuat, artinya mengambang alias tak jelas.

Tahun Duka

Sebenarnya aku tiada pernah membeda-bedakan diantara sahabatku yang satu dengan yang lainnya, di mataku sahabatku adalah orang yang paling berharga jauh dari pada kekasih karena sahabat lebih mencintai dan menyayangi kita apa adanya tanpa ada istilah, gengsi, ataupun jaga imej. Sahabat bukanlah teman dan sahabat bukanlah kekasih dia dapat melebihi segala-galanya karena ketulusan hatinya.

Aku rela berkorban demi mereka sekalipun harus membuat aku menderita, mungkin ini karena psikologiku yang sejak kecil telah ditinggalkan mati oleh ayahku, sementara ibuku sibuk untuk mencari sesuap nasi diluar sehingga aku banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman yang sebayaku.

Aku masih ingat perjuanganku untuk membantu Edi menemaninya pergi ke Sangkulirang yaitu suatu kecamatan yang terdapat di Kutai Timur dan memakan waktu sekitar 7 jam perjalanan dari Samarinda menggunakan bus dari terminal antar kota. Aku rela mencari pinjaman dan menanggung hutang yang cukup besar sendirian agar aku dapat berangkat bersama Edi kesana sekalipun tidak ada manfaatnya untuk aku. Apabila aku akumulasikan maka uang gaji honorku selama 2,5 bulan barulah cukup untuk mengembalikan hutang-piutangku itu.

Tujuan perjalananku kesana tak lain adalah menemani Edi untuk mengurus suatu persoalan “cinta” yang baginya sangat penting guna mendapatkan gadis jelita (Eliyanah) yang ingin ia jadikan sebagai kekasihnya. Yang aku tahu begitu besar perasaan cintanya Edi kepada gadis tersebut sehingga membuatku tak berfikir dua kali untuk membantunya asalkan ia dapat bersatu dengan gadis yang diidamkannya untuk dijadikan sebagai pendamping hidupnya kelak.

Singkat kata, berbulan-bulan aku menjadi pendamping setia Edi. Tak perduli itu banyak menyita waktu dan banyak mengorbankan kepentinganku namun asalkan Edi bisa merebut hati Elly itu sudah cukup bagiku.

Satu jalan yang ditempuh Edi adalah dengan cara melakukan PDKT (pendekatan) kepada salah seorang gadis yang tinggal berseberangan rumah dengan rumah milik Elly yaitu Asnaniah. Kebetulan antara Elly dan Asnaniah adalah dua orang yang masih memiliki ikatan keluarga (sepupu) namun walaupun begitu mereka jauh sangat berbeda baik segi materi maupun dari segi sifat pribadi keduanya. Jika Elly adalah gadis dari orang tua yang cukup sederhana namun Asnaniah terlahir dari orang tua yang cukup berada dan terpandang dikampungnya. Mungkin karena kehidupan yang sederhanalah Elly lebih terlihat manis, tegar, pendiam, pintar, disiplin dan mandiri dibandingkan sifat yang dimiliki oleh Asnaniah, dan karena itu jugalah yang menjadikan aku sangat mendukung sekali Edi untuk mendapatkan Cinta dari Elly.

Entah mengapa semenjak Edi selalu melakukan pendekatan kepada Asnaniah didalam hatiku punya perasaan yang seolah-olah menunjukkan bahwa itu bukanlah jalan yang terbaik bagi Edi, aku khawatir jika suatu saat Asnaniah akan jatuh hati kepada Edi. Dengan kekhawatiran ini aku mencoba untuk mendiskusikannya kembali pada Edi dengan harapan bahwa ia harus lebih berhati-hati dengan keputusannya itu. Walaupun aku telah mendapatkan kata kepastian dari Edi bahwa ia tidak akan mungkin dapat menerima Asnaniah apabila itu benar-benar terjadi namun aku belum bisa tenang apalagi aku melihat mereka berdua semakin akrab dan dekat.

Ternyata waktupun telah menjawab kekhawatiranku, setelah kudengar sendiri pengakuan dari mulut Edi bahwa perasaannya kepada Asnaniah telah berubah yaitu dari hubungan teman menjadi sahabat akhirnya ia jatuh hati pada Asnaniah. Akupun tahu jika Asnaniah juga menyukai Edi sejak awal bertemu dengannya, melihat kenyataan ini dihatiku timbul perasaan kecewa yang sangat dalam. Aku teringat akan perjuangan yang tak kenal lelah asalkan dapat merebut hatinya Elly telah berakhir dengan sia-sia.

Sebenarnya aku dapat melihat dari tatapan mata serta ucapan-ucapan singkat yang muncul dari bibir manis Elly bahwa ia pun menyukai Edi, namun yang menghalanginya untuk menerima Edi adalah sifat Edi yang sangat sulit untuk dirubah yaitu Edi senang sekali memberikan harapan kepada gadis lain untuk mendekati dan menjalin hubungan dengannya, hal inilah yang tidak disukai oleh Elly, dan ini pula yang tidak dapat dimengerti dan dicerna Edi agar ia bisa mendapatkan cinta dari Elly.

Berjalannya waktu hubungan persahabatanku dengan Edi mulai dingin seiring dengan jatuhnya ia ke pangkuan Asnaniah, bukan hanya dari sikap yang dingin bahkan kami sempat untuk berkelahi namun untung saja ada Hamdani yang melerai dan berusaha mendamaikan kami berdua. Saat itu Edi menuduhku bahwa aku sebenarnya menyukai Elly dan aku hanya berpura-pura saja mahu selalu menolongnya untuk mendapatkan Elly, yang paling menyakitkan hatiku adalah aku dicap sebagai orang yang punya penyakit “hati” alias dengki pada apa yang dimiliki Edi sekarang.

Mungkin itu adalah awal dari renggangnya hubunganku dengan Edi yang harus kujalani lebih dari 4 bulan. Meskipun saat ini kami sudah berdamai namun aku belum bisa melupakan kepahitan apa yang telah ia lakukan padaku, kini aku harus melunasi hutang-hutangku sendirian tanpa ada kepedulian dari Edi dan mungkin ini adalah salahku, mengapa aku harus selalu berbuat baik kepada orang lain yang belum tentu baik bagiku, apabila diibaratkan aku bagaikan lilin yang memberikan cahaya pada orang lain namun tanpa sadar aku telah membakar diriku sendiri hingga leleh dan mati.