Laman

Selasa, 16 September 2008

Adikku Penerus Papa


Mama kini telah melahirkan cabang bayi yang ada dalam kandungannya, ia melahirkan seorang anak laki-laki yang putih, bermata sipit, rambut yang kemerah-merahan dan ketampanannya menyerupai papaku. Bayi yang tentunya menjadi adik kandungku itu lahir tanpa harus dapat melihat wajah papanya, dan aku khawatir jika suatu saat ia akan menanyakan seperti apakah rupa papanya.
Sesuatu yang tidak kami sadari namun itu sangat nyata adalah adanya kehadiran atau campur tangan Allah dalam kehidupan kami, dan Allah mulai menunjukkan kasih sayang-Nya pada kami.
Suatu saat setelah terdengarnya berita duka atas meninggalnya Papa oleh keluarga yang berada di kota Tarakan pamanku (Ust. Marzuk Harun) dan papi (Ust. Amrin busurah) datang menjemput kami dan membawa kami untuk tinggal bersama di kota kecil itu.
Malam hari Bus antar provinsi telah datang menjemput keluargaku dan disaat itulah waktu yang akan memisahkan kami dari kampung halaman dan dari keluarga papa, kami akan memulai hidup baru di kalimantan. Dengan lingkungan yang baru dan dengan suasana yang baru pula. Mungkin disana tidak ada lagi yang akan menghina mama juga tidak ada lagi yang mengusik kehidupan keluarga kami.
***

Keluarga Papaku BeRuBaH


Beberapa waktu telah berlalu, sejak kepergian papa kini kami harus bisa mandiri dan merubah kehidupan kami. Mama yang kini sedang mengandung calon adik kandungku tidak mahu terus larut dalam duka, ia segera bangkit dan berusaha menjadi pengganti papa yang baik buat anak-anaknya.
Meskipun pada saat itu aku masih kecil namun aku telah mengerti apa arti kehidupan menjadi seorang yatim diusia dini, aku tidak boleh manja sebagaimana kawan-kawanku yang lainnya karena aku adalah seorang yatim yang tak memiliki apa-apa selain mama. Itulah yang coba aku tanamkan didalam hatiku meskipun aku masih ingin menikmati masa-masa bahagia untuk memiliki seorang ayah.
Jangankan manusia yang memiliki hati dan perasaan seekor Unta pun tidak akan rela jika anaknya terinjak oleh orang lain. Begitu pula dengan mamaku, ia tak mahu menyerah dengan keadaan ini sehingga mama membiarkan kami anak-anaknya tetap bisa menikmati pendidikan, dengan ketiadaan papa kami tidak mesti harus putus sekolah.
Mama kini telah mendapatkan pekerjaan yang dapat menopang kkehidupan kami, meskipun hasilnya sedikit namun kami cukup bersyukur karena kami masih dapat menikmati sesuap nasi dari hasil jerih-payah yang halal. Yah mama kini telah bekerja pada seorang juragan yang memiliki beberapa hektar persawahaan untuk digarap setelah sebelumnya mama bekerja serabutan kesana dan kesini.
Sebelum pergi kesawah mama pasti menyiapkan segala perlengkapan sekolah milikku dan kakak perempuanku, kehidupan yang enak dan serba praktis sangat jauh sekali dari kehidupan kami, semenjak taman kanak-kanak aku sudah mulai belajar untuk menjajakan bubur kacang hijau yamg dibuat mama pada waktu pagi sekali dan berlanjut hingga aku menginjak kelas satu SD. Sama dengan aku, begitupun dengan kakakku ia turut menjajakan bekal (Pisang goreng) yang telah disediakan oleh mama.
Ada satu hal yang sangat lucu sekali untuk dikenang semasa aku dan kakak berjualan disekolahan. “Suatu saat ketika kami sedang berjualan pisang goreng, tidak seperti biasanya hari itu jajanan kami tidak laris manis entah karena faktor cuaca atau karena faktor lain yang jelas bekal yang kami bawa masih tersisa banyak. Melihat keadaan ini kakakku menjadi panik dan tidak berani untuk pulang kerumah sebelum jualan kami habis, kakak sangat takut sekali jika mama memarahinya karena jualan yang tak laris, tak lama kemudian tiba-tiba saja suatu ide konyol terbesit dikepala kakak, ia memakan sebagian jualan yang masih tersisa itu hingga meninggalkan beberapa buah pisang goreng saja di talam. Setelah sampai dirumah ternyata mama tahu bahwa jumlah uang jualan yang terkumpul tidak sama harganya dengan jumlah pisang goreng yang habis, tentu saja mama merasa heran dan menanyakan hal yang sebenarnya pada kakak kemudian dengan wajah yang memerah kakak mengakui hal yang sebenarnya, mendengar hal itu akhirnya mama tidak dapat berkata-kata dan hanya menahan tawa”.
Saat aku pergi kesekolah pasti aku masih bisa melihat mamaku akan tetapi sepulang sekolah tidak dapat dipastikan aku langsung bisa melihat mama ada dirumah menyambut kepulanganku, ya karena pada saat aku pulang terkadang mama belum juga pulang dari sawah. Pergi pagi pulang senja itulah keseharian yang kami jalani.
Sebagian besar waktuku dihabiskan untuk bermain bersama kawan-kawan sebayaku, mungkin juga pada saat itu aku masih ingusan sedangkan kawan-kawanku dapat dikatakan lebih tua beberapa tahun dari aku. Bersama mereka aku bisa tertawa dan menikmati indahnya masa kanak-kanak, mereka bagiku bagaikan saudara kandung sendiri karena dari mereka pula aku dapat merasakan perhatian dari orang lain seolah-olah papa yang telah tiada hadir kembali disisiku.
Mungkin bersama kawan-kawan aku lebih merasakan hangatnya kedekatan dan perhatian daripada keluarga sebelah papaku sendiri. Ya… setelah kepergian papa seolah semua keluarga telah berubah, ibarat bunga yang kini tak harum lagi begitulah keadaan yang keluargaku alami. Mereka kini tak sebaik pada saat papaku masih hidup kini perhatian mereka kepada keluargaku seolah berkurang dan terkadang menutup pintu untuk kami kunjungi.
Entah karena apa mereka berubah? Aku tak tahu tapi yang jelas aku rasakan mereka telah berubah. Salah satu keluarga papa yang kurasakan masih menaruh perhatian pada kehidupan kami adalah Papa Tua (kakak tertua dari papa). Bersama istrinya mereka sangat pethatian kepada kami sebagai keponakan dan kepada mamaku sebagai adik iparnya.
Dari cerita mama, aku pernah mendengar bahwa mereka (*keluarga papa) telah mengambil seluruh perkakas / peralatan pertukangan milik papa tak lama setelah papa meninggalkan dunia ini, sebenarnya barang milik papa itu telah mamaku simpan dan rencananya akan diwariskan kepada salah satu keturunan papa suatu saat nanti namun ternyata rencana itu gagal, mereka telah mengambil semuanya tanpa meninggalkan sesuatupun. Mama yang hanya memiliki pendidikan SD dan tidak tamat itupun tidak memiliki kemampuan apa-apa kecuali hanya meratapinya.
Masih segar dalam ingatanku, ketika mereka mengunci pintu belakang rumahnya untuk kami dengan tujuan agar kami tidak mendengar suara ribut didapur dan tidak dapat melihat ketika asap dapur mereka mengepul, sungguh sangat kikir sekali.. “Ya.. Allah,.. cukupkan atas kami karuniamu ya Allah…”
***

Papa Oh.. Papa


Pagi itu langit tampak mendung diiringi hembusan angin yang seolah-olah ingin membersihkan kampung halamanku dari serakan kertas dan pasir yang berada dipinggir-pinggir jalan. Bersamaan dengan hembusan angin itu terdengar beberapa suara isak tangis yang sangat mengharukan dan menyayat jiwa setiap insan yang mendengarnya.

Suara itu tepat berasal dari sebuah rumah gubuk yang sangat berukuran kecil. Mungkin setiap orang yang melihat gubuk itu pasti akan mentafsirkan bahwa sang pemilik gubuk tersebut adalah orang yang hidup serba berkekurangan dan pasti berkehidupan yang miskin. Ya,.. mungkin itulah persepsi yang tepat untuk menggambarkan keadaan gubuk serta penghuninya itu.

Suara elu dipagi yang masih diselimuti embun pagi itu terdengar semakin ramai dan mengundang warga kampung untuk mendatangi sumber suara, tak lama kemudian gubuk yang kecil itu telah dipenuhi oleh warga kampung sehingga mahu tidak mahu gubuk yang berdindingkan anyaman bambu itu terasa sempit dan sesak.

Hu~… Ati olo wa’u (Hu~…Kasihannya Aku)” begitulah ucapan yang keluar dari bibir seorang ibu berusia 30 tahun secara berulang-ulang sembari memeluk tubuh suaminya yang terbujur kaku diatas pembaringan, tubuh itu ternyata telah terbujur kaku sejak malam hari tepat pada pukul 21.00 wib. Ya,.. suaminya telah meninggalkan dunia fana ini untuk selama-lamanya dan tidak akan pernah kembali lagi sampai kapanpun.

Para pelayat terus berdatangan dengan membawa beberapa kaleng susu beras yang akan disumbangkan pada janda itu. Langit yang mendung dan suara gesekan dari dedaunan pohon kelapa terus mengiringi suasana duka keluarga almarhum.

Kedukaan yang sangat mendalam pastinya lebih akan dirasakan janda beranak 3 itu, bagaimana tidak kurang dari beberapa bulan yang lalu ia pun harus mengikhlashkan anak ke duanya untuk menghadap Allah SWT. belum lagi saat ini ia sedang mengandung 7 bulan anak terakhirnya.

Janda itu tak lain dan tak bukan adalah ibu kandungku sendiri yang telah merawatku dengan penuh kasih sayang sampai saat ini dan sampai akhir hayat nanti. Aku memanggilnya mama sebuah panggilan yang menunjukkan cintaku padanya yang begitu dalam dan tak mungkin dapat diukur oleh apapun juga.

Uthy[1]~ ngana pe papa so tidak ada kata mamaku sembari memeluk dan mengusap rambut dikepalaku. “Ati olo wi’o Uthy~.. so tidak ada papa (kasihannya kamu anakku, sudah tidak punya papa)” lanjutnya. Mendengar ucapan dan isak tangis mamaku, aku pun tak tahan untuk tidak menangis dan memeluk mamaku. Aku sangat tidak tahan apabila membiarkan mamaku menangis, namun apa yang harus aku buat? Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, yang bisa kulakukan hanyalah turut bersedih dan menangis.

Mulai hari ini aku tidak akan pernah lagi merasakan belaian kasih sayang dari papaku, tidak ada lagi yang akan memboncengku pada sore hari untuk berkeliling kampung menggunakan sepeda ontel miliknya, tidak ada lagi yang membuatkan layang-layang serta mengajakku memancing di empang milik kakekku.

Begitupun dengan mama yang kini sedang mengandung. Ia tidak lagi bisa merasakan kasih sayang dari seorang suami yang menemaninya dalam suka maupun duka, ia harus bekerja super keras untuk tetap dapat bertahan hidup dan membiayai sekolahku yang saat itu masih duduk dibangku taman kanak-kanak tanpa bisa mengharapkan lagi gaji papa yang semasa hidupnya dipercaya sebagai mandor bangunan dikampungku.

Ibarat daun yang telah gugur dari pohonnya, maka semuanya harus terjadi dan tidak dapat dihalangi, papa telah pergi meninggalkan aku, mama, kakak, bayi yang masih didalam kandungan mama. Yang papa tinggalkan hanya kenangan indah bersamanya. Papa sudah tidak bersama kami lagi, papa telah pergi untuk selamanya dan tak akan pernah kembali lagi kesini.


[1] Uthy : adalah panggilan “Sayang” yang berarti “Anakku” dari orang tua kepada anak lelakinya.

Minggu, 09 Maret 2008

Memoriam in 2007

Awal Sejarah

Di tahun 2007 ini begitu banyak kepahitan yang aku alami, sengaja aku menulis cerita nyata ini agar seluruh dunia tahu kisah dukaku ini.

Sudah lama sekali aku suka ngumpul-ngumpul dengan kawan-kawan kuliahku, kurang lebih 2 tahun kami selalu bersama dapat dikatan suka dan duka selalu kami hadapi, seperti biasanya ruang kuliah kami terkenal dengan sifat kekeluargaan serta keakraban diantara setiap kawan, keakraban ini dapat dirasakan dan dicium oleh setiap kawan baru yang ikut bergabung diruang kuliah kami, entah itu untuk mengambil mata kuliah yang tertinggal saja ataupun untuk bergabung selamanya. Tak heran keakraban antara kawan satu dengan kawan yang lainya ini dapat membuat iri masyarakat diruang lain, bahkan keakraban dan sifat kekeluargaan kami tercium hingga ke fakultas dan dosen-dosen yang ada.

Selain suasana yang hangat ruang kuliah kamipun dihuni oleh orang-orang yang dapat dikatakan “Pandai” hal ini ada karena sekitar 90% dari anggota ruang adalah orang-orang yang aktif di Organisasi baik ekstra maupun intra kampus.

Suatu saat tanpa disadari kerukunan yang ada harus terpecah, hal ini disinyalir karena ego diantara kawan-kawan yang mulai muncul, kawan-kawan mulai saling panas karena beda pendapat baik dalam diskusi maupun perbedaan organisasi ekstra. Perpecahan harus meletus dan tidak dapat dipertahankan lagi ketika salah satu kawan kami memutuskan untuk berhenti kuliah dan pulang kekampung halamannya lantaran tidak tahan oleh kelakuan kawan-kawan lain yang selalu mengucilkannya.

Ema fitriana, nama gadis tersebut yang memiliki sahabat karib yaitu Amaliah dan Siti Munawarah merasa tak tahan lagi diperlakukan sebelah mata oleh kawan-kawan yang lain apalagi dalam diskusi maupun kelompok kerja mereka selalu menjadi orang yang pendiam hal inilah faktor penyebab sehingga mereka dikucilkan.

Suatu saat seorang dosen membagi kami dalam beberapa kelompok belajar yang telah disepakati bersama dengan dosen tersebut, namun ternyata dibelakang ada kawan-kawan yang tidak mahu menerima keputusan ini sehingga mereka menarik kawan-kawan dari kelompok lain untuk membuat kelompok baru, inilah awal kehancuran sifat kekeluargaan yang coba dipertahankan namun ternyata harus kandas yang berimbas untuk Ema.

Aku tetap menerima kelompok yang telah ditetapkan dan aku memberikan kebebasan bagi kawan-kawan yang mahu pindah kelompok ataupun tetap ikut bersama kelompokku, wajarlah aku adalah ketua kelompoknya bagiku “Tiga orangpun jadi” Kelompokku yang aku kira akan berkurang personelnya karena kebijakan memberikan kebebasan untuk pindah ternyata salah besar hanya dua orang yang pindah dari kelompokku akan tetapi yang ingin bergabung bersamaku sangat banyak bahkan dapat dikatakan “Kelompok kerja yang paling banyak personelnya dibanding dengan kelompok yang lain”.

Tak terkecuali Amaliah dan Siti Munawarah, aku menarik dan mengizinkan mereka untuk bergabung dikelompokku hal ini karena aku berempati kepada mereka yang tidak satu kelompokpun mahu menerima keberadaan mereka, maklumlah karena kami akan melakukan suatu penelitian di sekolah-sekolah baik negeri maupun suasta.

Alhasil kelompokku mendapatkan predikat yang terbaik dan nilai tertinggi karena keakuratan data serta presentasi penelitian yang dapat aku pertahankan. Terima kasih kawan-kawan.

Dari teman sekamar Ema aku mengetahui ihwal berhentinya Ema dari bangku kuliah, mendengar semuanya maka aku segera memberitahukan hal ini kepada kawan-kawan lain yang aku anggap percaya (Agus, Edi, Sodikin, Dani, Baha) ternyata gayung bersambut mereka mempercayaiku dan segera menghubungi Amaliah dan Siti Munawarah untuk membicarakan ihwal kebenaran dan sekaligus rencana silaturrahim ke kediaman Ema di Kab. Kutai Kartanegara sekitar 2 Jam perjalanan dari Samarinda menggunakan sepeda motor dengan kecepatan 60 km/jam.

Secara tidak disadari telah teradi pengkotak-kotakan suasana diruang kuliah kami, lebih-lebih aku dan kawan-kawanku (Edi, Sodikin, Agus, Dani, Baha) mulai sering ngumpul bersama sehingga yang tercetuslah istilah 6 bersaudara yang tak jelas berasal darimana yang mungkin masih segar dalam ingatanku istilah itu berasal dari Agus.

Kamipun tetap tidak pernah menutup diri untuk berteman dengan kawan-kawan yang lain dan tak lama berselang Suriyanto (kece) akhirnya bergabung dan namapun berubah menjadi 7 bersaudara atau 7 brothers, juga dalam hitungan 1 bulan akhirnya Amaliah dan Siti Munawarah ikut bergabung dan resmi dengan nama 9 Brosist (Brother & Sister) lagi-lagi istilah ini aku gak tahu darimana munculnya dan aku hanya sebagai penyambung kata.

Keakraban kami ber-9 ternyata tidak sepenuhnya di anggap positif oleh kawan-kawan yang lain bahkan diantara mereka ada yang berupaya menjatuhkan kredibilitas kami didepan kawan-kawan kami yang lain maupun dosen. Suatu saat kami harus jatuh dan dikucilkan oleh sebahagian dosen dari berbagai fakultas yang ada. Baik itu dosen yang kami anggap cukup bijak maupun dari dosen yang tidak mengenal kami sekalipun ikut menganggap kami miring. Hingga kasus kami harus di rapatkan oleh para dosen fakultas apalagi kejadian ini sangat dekat sekali ketiaka akan dilaksanakannya ujian semester.

Sebenarnya kami tidak tahu menahu perbuatan apa yang telah kami lakukan sehingga di anggap merupakan suatu penyimpangan perilaku bagi para dosen. Dengan kejadian ini timbul perasaan dihatiku suatu ke khawatiran yang cukup dalam, aku tidak mengkhawatirkan diriku apabilanya tidak lulus dalam berbagai mata kuliah akan tetapi yang aku khawatirkan adalah dari kejadian ini dapat membuat persahabatan kami retak dan renggang maklumlah sudah menjadi sifat dari pribadiku untuk menjaga dan menyayangi sahabat-sahabatku melebihi apapun.

Aku melihat dari wajah-wajah sahabatku tak tampak lagi keceriaan seperti hari-hari biasanya yang tampak hanyalah wajah pucat dan bingung serta sedih, kami yang biasanya saling menghibur seolah-olah diam dan tidak dapat berbuat apa-apa atas masalah yang tidak jelas duduk perkaranya ini.

Sementara aku tidak terlalu memikirkan akan masalah yang kami hadapi ini, yang ada dalam benak dan fikiranku sekarang adalah bagaimana caranya agar aku tetap bisa menghibur sahabat-sahabatku yang memang sangat membutuhkan dorongan. Beberapa kali aku mengirimkan sms motivasi kepada sahabat-sahabatku lebih-lebih lagi kepada Muhammad Baha Uddin (Baha) karena diantara kami ber 9 aku mengenalnya sebagai sahabat yang pendiam dan selalu memendam perasaan sehingga aku takut sekali suatu saat dia tidak akan kuat dan memutuskan untuk bubar.

Akhirnya prediksiku benar, bahwa kami ber-9 lulus mata kuliah namun dengan bersyarat yaitu mengikuti ujian HER atau ulangan. Kami lambat-laun dapat menerima kenyataan bahwa kami merupakan mahasiswa yang dikucilkan baik dari sebahagian dosen maupun dari sebahagian mahasiswa yang tidak senang dengan keakraban kami.

Semua prosedur kami lalui dengan sungguh-sungguh dan tanggung jawab sehingga kami semua akhirnya lulus dengan nilai yang cukup lumayan.

Setelah kami dinyatakan lulus ujian, kami berusaha untuk mengangkat nama baik persahabatan kami lagi yaitu dengan menanyakan secara langsung hal apa saja yang telah kami lakukan sehingga tak berkenan dan dianggap sebagai bagian dari penyimpangan perilaku mahasiswa, berbagai upaya kami lakukan tak terkecuali mendatangi rumah dosen yang bersangkutan, sehingga kami dapat mengetahui permasalahan yang sesungguhnya.

Perjuangan kami akhirnya membuahkan hasil, salah seorang dosen mengakui bahwa kami sebenarnya tidak memiliki kesalahan apapun dan setelah diadakan rapat antara dosen ternyata para dosenpun tidak dapat memastikan penyimpangan apa yang telah kami perbuat, artinya mengambang alias tak jelas.

Tahun Duka

Sebenarnya aku tiada pernah membeda-bedakan diantara sahabatku yang satu dengan yang lainnya, di mataku sahabatku adalah orang yang paling berharga jauh dari pada kekasih karena sahabat lebih mencintai dan menyayangi kita apa adanya tanpa ada istilah, gengsi, ataupun jaga imej. Sahabat bukanlah teman dan sahabat bukanlah kekasih dia dapat melebihi segala-galanya karena ketulusan hatinya.

Aku rela berkorban demi mereka sekalipun harus membuat aku menderita, mungkin ini karena psikologiku yang sejak kecil telah ditinggalkan mati oleh ayahku, sementara ibuku sibuk untuk mencari sesuap nasi diluar sehingga aku banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman yang sebayaku.

Aku masih ingat perjuanganku untuk membantu Edi menemaninya pergi ke Sangkulirang yaitu suatu kecamatan yang terdapat di Kutai Timur dan memakan waktu sekitar 7 jam perjalanan dari Samarinda menggunakan bus dari terminal antar kota. Aku rela mencari pinjaman dan menanggung hutang yang cukup besar sendirian agar aku dapat berangkat bersama Edi kesana sekalipun tidak ada manfaatnya untuk aku. Apabila aku akumulasikan maka uang gaji honorku selama 2,5 bulan barulah cukup untuk mengembalikan hutang-piutangku itu.

Tujuan perjalananku kesana tak lain adalah menemani Edi untuk mengurus suatu persoalan “cinta” yang baginya sangat penting guna mendapatkan gadis jelita (Eliyanah) yang ingin ia jadikan sebagai kekasihnya. Yang aku tahu begitu besar perasaan cintanya Edi kepada gadis tersebut sehingga membuatku tak berfikir dua kali untuk membantunya asalkan ia dapat bersatu dengan gadis yang diidamkannya untuk dijadikan sebagai pendamping hidupnya kelak.

Singkat kata, berbulan-bulan aku menjadi pendamping setia Edi. Tak perduli itu banyak menyita waktu dan banyak mengorbankan kepentinganku namun asalkan Edi bisa merebut hati Elly itu sudah cukup bagiku.

Satu jalan yang ditempuh Edi adalah dengan cara melakukan PDKT (pendekatan) kepada salah seorang gadis yang tinggal berseberangan rumah dengan rumah milik Elly yaitu Asnaniah. Kebetulan antara Elly dan Asnaniah adalah dua orang yang masih memiliki ikatan keluarga (sepupu) namun walaupun begitu mereka jauh sangat berbeda baik segi materi maupun dari segi sifat pribadi keduanya. Jika Elly adalah gadis dari orang tua yang cukup sederhana namun Asnaniah terlahir dari orang tua yang cukup berada dan terpandang dikampungnya. Mungkin karena kehidupan yang sederhanalah Elly lebih terlihat manis, tegar, pendiam, pintar, disiplin dan mandiri dibandingkan sifat yang dimiliki oleh Asnaniah, dan karena itu jugalah yang menjadikan aku sangat mendukung sekali Edi untuk mendapatkan Cinta dari Elly.

Entah mengapa semenjak Edi selalu melakukan pendekatan kepada Asnaniah didalam hatiku punya perasaan yang seolah-olah menunjukkan bahwa itu bukanlah jalan yang terbaik bagi Edi, aku khawatir jika suatu saat Asnaniah akan jatuh hati kepada Edi. Dengan kekhawatiran ini aku mencoba untuk mendiskusikannya kembali pada Edi dengan harapan bahwa ia harus lebih berhati-hati dengan keputusannya itu. Walaupun aku telah mendapatkan kata kepastian dari Edi bahwa ia tidak akan mungkin dapat menerima Asnaniah apabila itu benar-benar terjadi namun aku belum bisa tenang apalagi aku melihat mereka berdua semakin akrab dan dekat.

Ternyata waktupun telah menjawab kekhawatiranku, setelah kudengar sendiri pengakuan dari mulut Edi bahwa perasaannya kepada Asnaniah telah berubah yaitu dari hubungan teman menjadi sahabat akhirnya ia jatuh hati pada Asnaniah. Akupun tahu jika Asnaniah juga menyukai Edi sejak awal bertemu dengannya, melihat kenyataan ini dihatiku timbul perasaan kecewa yang sangat dalam. Aku teringat akan perjuangan yang tak kenal lelah asalkan dapat merebut hatinya Elly telah berakhir dengan sia-sia.

Sebenarnya aku dapat melihat dari tatapan mata serta ucapan-ucapan singkat yang muncul dari bibir manis Elly bahwa ia pun menyukai Edi, namun yang menghalanginya untuk menerima Edi adalah sifat Edi yang sangat sulit untuk dirubah yaitu Edi senang sekali memberikan harapan kepada gadis lain untuk mendekati dan menjalin hubungan dengannya, hal inilah yang tidak disukai oleh Elly, dan ini pula yang tidak dapat dimengerti dan dicerna Edi agar ia bisa mendapatkan cinta dari Elly.

Berjalannya waktu hubungan persahabatanku dengan Edi mulai dingin seiring dengan jatuhnya ia ke pangkuan Asnaniah, bukan hanya dari sikap yang dingin bahkan kami sempat untuk berkelahi namun untung saja ada Hamdani yang melerai dan berusaha mendamaikan kami berdua. Saat itu Edi menuduhku bahwa aku sebenarnya menyukai Elly dan aku hanya berpura-pura saja mahu selalu menolongnya untuk mendapatkan Elly, yang paling menyakitkan hatiku adalah aku dicap sebagai orang yang punya penyakit “hati” alias dengki pada apa yang dimiliki Edi sekarang.

Mungkin itu adalah awal dari renggangnya hubunganku dengan Edi yang harus kujalani lebih dari 4 bulan. Meskipun saat ini kami sudah berdamai namun aku belum bisa melupakan kepahitan apa yang telah ia lakukan padaku, kini aku harus melunasi hutang-hutangku sendirian tanpa ada kepedulian dari Edi dan mungkin ini adalah salahku, mengapa aku harus selalu berbuat baik kepada orang lain yang belum tentu baik bagiku, apabila diibaratkan aku bagaikan lilin yang memberikan cahaya pada orang lain namun tanpa sadar aku telah membakar diriku sendiri hingga leleh dan mati.