Laman

Selasa, 16 September 2008

Papa Oh.. Papa


Pagi itu langit tampak mendung diiringi hembusan angin yang seolah-olah ingin membersihkan kampung halamanku dari serakan kertas dan pasir yang berada dipinggir-pinggir jalan. Bersamaan dengan hembusan angin itu terdengar beberapa suara isak tangis yang sangat mengharukan dan menyayat jiwa setiap insan yang mendengarnya.

Suara itu tepat berasal dari sebuah rumah gubuk yang sangat berukuran kecil. Mungkin setiap orang yang melihat gubuk itu pasti akan mentafsirkan bahwa sang pemilik gubuk tersebut adalah orang yang hidup serba berkekurangan dan pasti berkehidupan yang miskin. Ya,.. mungkin itulah persepsi yang tepat untuk menggambarkan keadaan gubuk serta penghuninya itu.

Suara elu dipagi yang masih diselimuti embun pagi itu terdengar semakin ramai dan mengundang warga kampung untuk mendatangi sumber suara, tak lama kemudian gubuk yang kecil itu telah dipenuhi oleh warga kampung sehingga mahu tidak mahu gubuk yang berdindingkan anyaman bambu itu terasa sempit dan sesak.

Hu~… Ati olo wa’u (Hu~…Kasihannya Aku)” begitulah ucapan yang keluar dari bibir seorang ibu berusia 30 tahun secara berulang-ulang sembari memeluk tubuh suaminya yang terbujur kaku diatas pembaringan, tubuh itu ternyata telah terbujur kaku sejak malam hari tepat pada pukul 21.00 wib. Ya,.. suaminya telah meninggalkan dunia fana ini untuk selama-lamanya dan tidak akan pernah kembali lagi sampai kapanpun.

Para pelayat terus berdatangan dengan membawa beberapa kaleng susu beras yang akan disumbangkan pada janda itu. Langit yang mendung dan suara gesekan dari dedaunan pohon kelapa terus mengiringi suasana duka keluarga almarhum.

Kedukaan yang sangat mendalam pastinya lebih akan dirasakan janda beranak 3 itu, bagaimana tidak kurang dari beberapa bulan yang lalu ia pun harus mengikhlashkan anak ke duanya untuk menghadap Allah SWT. belum lagi saat ini ia sedang mengandung 7 bulan anak terakhirnya.

Janda itu tak lain dan tak bukan adalah ibu kandungku sendiri yang telah merawatku dengan penuh kasih sayang sampai saat ini dan sampai akhir hayat nanti. Aku memanggilnya mama sebuah panggilan yang menunjukkan cintaku padanya yang begitu dalam dan tak mungkin dapat diukur oleh apapun juga.

Uthy[1]~ ngana pe papa so tidak ada kata mamaku sembari memeluk dan mengusap rambut dikepalaku. “Ati olo wi’o Uthy~.. so tidak ada papa (kasihannya kamu anakku, sudah tidak punya papa)” lanjutnya. Mendengar ucapan dan isak tangis mamaku, aku pun tak tahan untuk tidak menangis dan memeluk mamaku. Aku sangat tidak tahan apabila membiarkan mamaku menangis, namun apa yang harus aku buat? Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, yang bisa kulakukan hanyalah turut bersedih dan menangis.

Mulai hari ini aku tidak akan pernah lagi merasakan belaian kasih sayang dari papaku, tidak ada lagi yang akan memboncengku pada sore hari untuk berkeliling kampung menggunakan sepeda ontel miliknya, tidak ada lagi yang membuatkan layang-layang serta mengajakku memancing di empang milik kakekku.

Begitupun dengan mama yang kini sedang mengandung. Ia tidak lagi bisa merasakan kasih sayang dari seorang suami yang menemaninya dalam suka maupun duka, ia harus bekerja super keras untuk tetap dapat bertahan hidup dan membiayai sekolahku yang saat itu masih duduk dibangku taman kanak-kanak tanpa bisa mengharapkan lagi gaji papa yang semasa hidupnya dipercaya sebagai mandor bangunan dikampungku.

Ibarat daun yang telah gugur dari pohonnya, maka semuanya harus terjadi dan tidak dapat dihalangi, papa telah pergi meninggalkan aku, mama, kakak, bayi yang masih didalam kandungan mama. Yang papa tinggalkan hanya kenangan indah bersamanya. Papa sudah tidak bersama kami lagi, papa telah pergi untuk selamanya dan tak akan pernah kembali lagi kesini.


[1] Uthy : adalah panggilan “Sayang” yang berarti “Anakku” dari orang tua kepada anak lelakinya.

Tidak ada komentar: