Laman

Selasa, 16 September 2008

Adikku Penerus Papa


Mama kini telah melahirkan cabang bayi yang ada dalam kandungannya, ia melahirkan seorang anak laki-laki yang putih, bermata sipit, rambut yang kemerah-merahan dan ketampanannya menyerupai papaku. Bayi yang tentunya menjadi adik kandungku itu lahir tanpa harus dapat melihat wajah papanya, dan aku khawatir jika suatu saat ia akan menanyakan seperti apakah rupa papanya.
Sesuatu yang tidak kami sadari namun itu sangat nyata adalah adanya kehadiran atau campur tangan Allah dalam kehidupan kami, dan Allah mulai menunjukkan kasih sayang-Nya pada kami.
Suatu saat setelah terdengarnya berita duka atas meninggalnya Papa oleh keluarga yang berada di kota Tarakan pamanku (Ust. Marzuk Harun) dan papi (Ust. Amrin busurah) datang menjemput kami dan membawa kami untuk tinggal bersama di kota kecil itu.
Malam hari Bus antar provinsi telah datang menjemput keluargaku dan disaat itulah waktu yang akan memisahkan kami dari kampung halaman dan dari keluarga papa, kami akan memulai hidup baru di kalimantan. Dengan lingkungan yang baru dan dengan suasana yang baru pula. Mungkin disana tidak ada lagi yang akan menghina mama juga tidak ada lagi yang mengusik kehidupan keluarga kami.
***

Keluarga Papaku BeRuBaH


Beberapa waktu telah berlalu, sejak kepergian papa kini kami harus bisa mandiri dan merubah kehidupan kami. Mama yang kini sedang mengandung calon adik kandungku tidak mahu terus larut dalam duka, ia segera bangkit dan berusaha menjadi pengganti papa yang baik buat anak-anaknya.
Meskipun pada saat itu aku masih kecil namun aku telah mengerti apa arti kehidupan menjadi seorang yatim diusia dini, aku tidak boleh manja sebagaimana kawan-kawanku yang lainnya karena aku adalah seorang yatim yang tak memiliki apa-apa selain mama. Itulah yang coba aku tanamkan didalam hatiku meskipun aku masih ingin menikmati masa-masa bahagia untuk memiliki seorang ayah.
Jangankan manusia yang memiliki hati dan perasaan seekor Unta pun tidak akan rela jika anaknya terinjak oleh orang lain. Begitu pula dengan mamaku, ia tak mahu menyerah dengan keadaan ini sehingga mama membiarkan kami anak-anaknya tetap bisa menikmati pendidikan, dengan ketiadaan papa kami tidak mesti harus putus sekolah.
Mama kini telah mendapatkan pekerjaan yang dapat menopang kkehidupan kami, meskipun hasilnya sedikit namun kami cukup bersyukur karena kami masih dapat menikmati sesuap nasi dari hasil jerih-payah yang halal. Yah mama kini telah bekerja pada seorang juragan yang memiliki beberapa hektar persawahaan untuk digarap setelah sebelumnya mama bekerja serabutan kesana dan kesini.
Sebelum pergi kesawah mama pasti menyiapkan segala perlengkapan sekolah milikku dan kakak perempuanku, kehidupan yang enak dan serba praktis sangat jauh sekali dari kehidupan kami, semenjak taman kanak-kanak aku sudah mulai belajar untuk menjajakan bubur kacang hijau yamg dibuat mama pada waktu pagi sekali dan berlanjut hingga aku menginjak kelas satu SD. Sama dengan aku, begitupun dengan kakakku ia turut menjajakan bekal (Pisang goreng) yang telah disediakan oleh mama.
Ada satu hal yang sangat lucu sekali untuk dikenang semasa aku dan kakak berjualan disekolahan. “Suatu saat ketika kami sedang berjualan pisang goreng, tidak seperti biasanya hari itu jajanan kami tidak laris manis entah karena faktor cuaca atau karena faktor lain yang jelas bekal yang kami bawa masih tersisa banyak. Melihat keadaan ini kakakku menjadi panik dan tidak berani untuk pulang kerumah sebelum jualan kami habis, kakak sangat takut sekali jika mama memarahinya karena jualan yang tak laris, tak lama kemudian tiba-tiba saja suatu ide konyol terbesit dikepala kakak, ia memakan sebagian jualan yang masih tersisa itu hingga meninggalkan beberapa buah pisang goreng saja di talam. Setelah sampai dirumah ternyata mama tahu bahwa jumlah uang jualan yang terkumpul tidak sama harganya dengan jumlah pisang goreng yang habis, tentu saja mama merasa heran dan menanyakan hal yang sebenarnya pada kakak kemudian dengan wajah yang memerah kakak mengakui hal yang sebenarnya, mendengar hal itu akhirnya mama tidak dapat berkata-kata dan hanya menahan tawa”.
Saat aku pergi kesekolah pasti aku masih bisa melihat mamaku akan tetapi sepulang sekolah tidak dapat dipastikan aku langsung bisa melihat mama ada dirumah menyambut kepulanganku, ya karena pada saat aku pulang terkadang mama belum juga pulang dari sawah. Pergi pagi pulang senja itulah keseharian yang kami jalani.
Sebagian besar waktuku dihabiskan untuk bermain bersama kawan-kawan sebayaku, mungkin juga pada saat itu aku masih ingusan sedangkan kawan-kawanku dapat dikatakan lebih tua beberapa tahun dari aku. Bersama mereka aku bisa tertawa dan menikmati indahnya masa kanak-kanak, mereka bagiku bagaikan saudara kandung sendiri karena dari mereka pula aku dapat merasakan perhatian dari orang lain seolah-olah papa yang telah tiada hadir kembali disisiku.
Mungkin bersama kawan-kawan aku lebih merasakan hangatnya kedekatan dan perhatian daripada keluarga sebelah papaku sendiri. Ya… setelah kepergian papa seolah semua keluarga telah berubah, ibarat bunga yang kini tak harum lagi begitulah keadaan yang keluargaku alami. Mereka kini tak sebaik pada saat papaku masih hidup kini perhatian mereka kepada keluargaku seolah berkurang dan terkadang menutup pintu untuk kami kunjungi.
Entah karena apa mereka berubah? Aku tak tahu tapi yang jelas aku rasakan mereka telah berubah. Salah satu keluarga papa yang kurasakan masih menaruh perhatian pada kehidupan kami adalah Papa Tua (kakak tertua dari papa). Bersama istrinya mereka sangat pethatian kepada kami sebagai keponakan dan kepada mamaku sebagai adik iparnya.
Dari cerita mama, aku pernah mendengar bahwa mereka (*keluarga papa) telah mengambil seluruh perkakas / peralatan pertukangan milik papa tak lama setelah papa meninggalkan dunia ini, sebenarnya barang milik papa itu telah mamaku simpan dan rencananya akan diwariskan kepada salah satu keturunan papa suatu saat nanti namun ternyata rencana itu gagal, mereka telah mengambil semuanya tanpa meninggalkan sesuatupun. Mama yang hanya memiliki pendidikan SD dan tidak tamat itupun tidak memiliki kemampuan apa-apa kecuali hanya meratapinya.
Masih segar dalam ingatanku, ketika mereka mengunci pintu belakang rumahnya untuk kami dengan tujuan agar kami tidak mendengar suara ribut didapur dan tidak dapat melihat ketika asap dapur mereka mengepul, sungguh sangat kikir sekali.. “Ya.. Allah,.. cukupkan atas kami karuniamu ya Allah…”
***

Papa Oh.. Papa


Pagi itu langit tampak mendung diiringi hembusan angin yang seolah-olah ingin membersihkan kampung halamanku dari serakan kertas dan pasir yang berada dipinggir-pinggir jalan. Bersamaan dengan hembusan angin itu terdengar beberapa suara isak tangis yang sangat mengharukan dan menyayat jiwa setiap insan yang mendengarnya.

Suara itu tepat berasal dari sebuah rumah gubuk yang sangat berukuran kecil. Mungkin setiap orang yang melihat gubuk itu pasti akan mentafsirkan bahwa sang pemilik gubuk tersebut adalah orang yang hidup serba berkekurangan dan pasti berkehidupan yang miskin. Ya,.. mungkin itulah persepsi yang tepat untuk menggambarkan keadaan gubuk serta penghuninya itu.

Suara elu dipagi yang masih diselimuti embun pagi itu terdengar semakin ramai dan mengundang warga kampung untuk mendatangi sumber suara, tak lama kemudian gubuk yang kecil itu telah dipenuhi oleh warga kampung sehingga mahu tidak mahu gubuk yang berdindingkan anyaman bambu itu terasa sempit dan sesak.

Hu~… Ati olo wa’u (Hu~…Kasihannya Aku)” begitulah ucapan yang keluar dari bibir seorang ibu berusia 30 tahun secara berulang-ulang sembari memeluk tubuh suaminya yang terbujur kaku diatas pembaringan, tubuh itu ternyata telah terbujur kaku sejak malam hari tepat pada pukul 21.00 wib. Ya,.. suaminya telah meninggalkan dunia fana ini untuk selama-lamanya dan tidak akan pernah kembali lagi sampai kapanpun.

Para pelayat terus berdatangan dengan membawa beberapa kaleng susu beras yang akan disumbangkan pada janda itu. Langit yang mendung dan suara gesekan dari dedaunan pohon kelapa terus mengiringi suasana duka keluarga almarhum.

Kedukaan yang sangat mendalam pastinya lebih akan dirasakan janda beranak 3 itu, bagaimana tidak kurang dari beberapa bulan yang lalu ia pun harus mengikhlashkan anak ke duanya untuk menghadap Allah SWT. belum lagi saat ini ia sedang mengandung 7 bulan anak terakhirnya.

Janda itu tak lain dan tak bukan adalah ibu kandungku sendiri yang telah merawatku dengan penuh kasih sayang sampai saat ini dan sampai akhir hayat nanti. Aku memanggilnya mama sebuah panggilan yang menunjukkan cintaku padanya yang begitu dalam dan tak mungkin dapat diukur oleh apapun juga.

Uthy[1]~ ngana pe papa so tidak ada kata mamaku sembari memeluk dan mengusap rambut dikepalaku. “Ati olo wi’o Uthy~.. so tidak ada papa (kasihannya kamu anakku, sudah tidak punya papa)” lanjutnya. Mendengar ucapan dan isak tangis mamaku, aku pun tak tahan untuk tidak menangis dan memeluk mamaku. Aku sangat tidak tahan apabila membiarkan mamaku menangis, namun apa yang harus aku buat? Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, yang bisa kulakukan hanyalah turut bersedih dan menangis.

Mulai hari ini aku tidak akan pernah lagi merasakan belaian kasih sayang dari papaku, tidak ada lagi yang akan memboncengku pada sore hari untuk berkeliling kampung menggunakan sepeda ontel miliknya, tidak ada lagi yang membuatkan layang-layang serta mengajakku memancing di empang milik kakekku.

Begitupun dengan mama yang kini sedang mengandung. Ia tidak lagi bisa merasakan kasih sayang dari seorang suami yang menemaninya dalam suka maupun duka, ia harus bekerja super keras untuk tetap dapat bertahan hidup dan membiayai sekolahku yang saat itu masih duduk dibangku taman kanak-kanak tanpa bisa mengharapkan lagi gaji papa yang semasa hidupnya dipercaya sebagai mandor bangunan dikampungku.

Ibarat daun yang telah gugur dari pohonnya, maka semuanya harus terjadi dan tidak dapat dihalangi, papa telah pergi meninggalkan aku, mama, kakak, bayi yang masih didalam kandungan mama. Yang papa tinggalkan hanya kenangan indah bersamanya. Papa sudah tidak bersama kami lagi, papa telah pergi untuk selamanya dan tak akan pernah kembali lagi kesini.


[1] Uthy : adalah panggilan “Sayang” yang berarti “Anakku” dari orang tua kepada anak lelakinya.